ANALISAPUBLIK.COM | Blora – Sejumlah kurang lebih 30 gabungan Kelompok Tani Hutan (KTH) melakukan audiensi ke Gedung DPRD Kabupaten Blora. Aksi tersebut merupakan inisiasi sosialisasi Kulin KK (Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan) ke salah satu skema perhutanan sosial dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Koordinator Gabungan Kelompok Tani Hutan (GKTH) ‘Golek Upo’ Blora Jawa Tengah, Exi Wijaya menyatakan, upaya ini agar tidak terjadi kebingungan masyarakat di 23 desa kawasan hutan, yang mana telah mendapatkan SK Kulin KK atau masih dalam proses pengajuan di luar area KHDPK, baik di tingkat KTH, LMDH, maupun kepala desa.
“Bila KHDPK sudah jelas, peta areanya sudah di tentukan oleh KLHK, ada permasalahan beberapa desa kawasan hutan ternyata kawasan hutannya di luar KHDPK dan sudah di-Kulin KK-kan,” ujarnya, Senin (27/3/2023).
Dia menjelaskan, ada 23 desa yang sudah Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK). Permasalahannya adalah desa-desa yang sudah di-Kulin KK-kan tersebut di luar KHDPK, jadi notabenenya sama-sama petani hutan. Exi menyatakan, alangkah baiknya jika sesama petani hutan mendapatkan hak pengelolaan.
“Di samping itu banyak sekali petani hutan dan LMDH tidak paham apa itu kulin KK. Banyak juga perangkat dan kepala desa yang kurang paham apa itu KHDPK, perhutani sosial, skema hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat,” tambahnya.
Oleh sebab itu, pihaknya menginginkan untuk membangun ruang diskusi menggunakan hak konstitusional, guna mendorong DPRD Kabupaten Blora dalam menggunakan hak konstitusionalnya untuk mengundang pihak-pihak terkait.
“Biar stakeholder dan para pemangku kebijakan duduk bareng, kita bangun ruang diskusi,” pinta Exi.
Exi menambahkan, luasan kulin KK bervariasi dari 1.200 hektar sampai 2.900 hektar. Jadi, perlu transformasi dan tahapan. Menurutnya, sampai sekarang belum selesai peraturan perundangannya.
“Namun, kita bisa mengajukan permohonan fasilitasi transformasi Kulin KK ke skema perhutanan sosial kepada KLHK. Bahwa perhutanan sosial, baik di dalam KHDPK maupun di luar KHDPK benar-benar mempunyai asas manfaat buat petani hutan yang ada di Kabupaten Blora, sesuai tujuan program strategis nasional kehutanan sosial diadakan. Yang paling penting selain ekonomi kerakyatan, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” harapnya.
Menurutnya terkait desa kawasan hutan, yang terpenting adalah tentang bagaimana program kehutanan sosial ini bisa melibatkan masyarakat dalam proses kelestarian lingkungan.
“Membangun Indonesia dari pinggiran, salah satunya melalui kebijakan KHDPK (Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Kusus) dengan luasan 12,7 juta hektar seluruh Indonesia. Sedangkan untuk wilayah Jawa sendiri seluas 1,1 juta hektar dan melalui program Perhutanan sosial. Sebuah program Nasionalis yang bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan ekonomi melaui tiga pilar, yaitu : lahan, kesempatan usaha dan sumber daya manusia. Ketimpangan ekonomi tertinggi berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang berdampak pada kemiskinan dan kesejahteraan,” terangnya.
Selanjutnya Exi menyampaikan, harapan terbesar dalam kebijakan KHDPK dan Perhutanan Sosial adalah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan Blora, terciptanya keseimbangan dan kelestarian lingkungan dan dinamika sosial. Selain itu, KHDPK dan program perhutanan sosial juga diharapkan dapat memberikan status hukum yang legal dan sah kepada masyarakat Blora di dalam dan di sekitar kawasan hutan dalam mengelola kawasan hutan secara langsung.
“Masyarakat desa kawasan hutan wilayah Kabupaten Blora kebanyakan dari mereka adalah petani hutan, berada di luar area peta KHDPK berdasarkan Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) Kabupaten Blora,” ujarnya.
Exi juga menjelaskan bahwa sebelum KHDPK ditetapkan, ada 23 Desa kawasan hutan Blora sudah ditetapkan dalam proses pengajuan SK Kulin KK dan LMDH sebagai organisasi legal standing yang mengajukan berada di luar area KHDPK Kabupaten Blora.
“Setelah KHDPK, Kulin KK akan ditransformasikan menjadi salah satu skema Perhutanan Sosial meliputi hutan tanaman rakyat, hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan desa. Di samping itu, yang berhak mengajukan sebagai mitra adalah perorangan, koperasi dan kelompok tani hutan, serta gabungan kelompok tani hutan,” pungkas Exi.
Sementara itu, Yuyus Waluyo selaku Ketua Komisi B DPRD Blora yang menerima audiensi tersebut menyampaikan transformasi Kulin KK ke pengelolaan kehutanan sosial, hutan desa, hutan rakyat atau hutan kemasyarakatan.
“Jadi transformasi tidak ke KHDPK, tetapi secara hukum aturan mainnya saat ini baru disusun oleh KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) jadi ini masih menunggu,” ungkap Yuyus Waluyo.
Menurutnya, proses transformasi itu bisa tetapi untuk wilayah-wilayah yang tidak ada konflik. Dimana kondisi masyarakat saat ini sedang gusar karena adanya LMDH (Lembaga masyarakat desa hutan) yang sudah bermitra dengan Perhutani.
Selanjutnya, muncul KHDPK (kawasan hutan dengan pengelolaan khusus), IPHPS (izin pengelolaan hutan perhutanan sosial) sedangkan disitu sudah ada kulin KK.
“Jadi mereka berfikir mau bertransformasi.” ujarnya.
Menurutnya, bisa bertransformasi selagi area Kulin KK berada di area yang sudah ditentukan untuk KHDPK, selain itu berarti masih proses.
Yuyus menambahkan, maka Kulin KK sebagian yang di peta itu masuk KHDPK. Jadi kalau yang ada di peta KHDPK tentu boleh bertransformasi ke KHDPK.
“Akan tetapi yang di luar peta KHDPK masuknya proses pengelolaan hutan yang lain yakni hutan desa, hutan rakyat ataupun hutan kemasyarakatan berbasis kelompok yang mandiri,” sebutnya.
Lebih lanjut, pihaknya mengimbau ke masyarakat agar tidak terjadi konflik horizontal.
Selanjutnya, Pemerintah lewat Kementerian LHK pasti akan menyusun pengelolaan hutan itu sebaik baiknya.
“Dan bagi LMDH yang aturan mainnya mau dibuat diharapkan untuk menunggu dan sabar bermitra dengan perhutani. Dengan kawasan yang ada, dengan luas wengkon wilayah LMDH masing masing,” pungkasnya. (*)